

Balada Tiga Negara Besar
/ Opini
Reshuffle kabinet menentukan langkah strategis pemerintah yang kini sangat ditunggu rakyat-banyak.
Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Jogja Daily
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, merilis gebrakan baru. Kini, Pentagon resmi tak lagi disebut Department of Defense. Ia diubah menjadi Department of War. Konsekuensinya, semua nomenklatur di bawahnya, harus ikut menyesuaikan.
Sekilas terlihat sepele, lantaran hanya berganti istilah; dari Menteri Pertahanan menjadi Menteri Perang; dari Secretary of Defense menjadi Secretary of War. Tapi dalam politik, nama bukan sekadar kata. Ia adalah pesan. Kata ‘war’ menegaskan bahwa Paman Sam tak lagi puas bertahan, tapi siap menyerang.
Kebijakan President of the United States (Potus) ini terasa seperti sindiran sekaligus jawaban atas pameran kekuatan militer Tiongkok beberapa jam sebelumnya. Beijing menggelar parade akbar mesin-mesin perang. Rudal balistik berjajar rapi, tank baja menggilas aspal, dan jet tempur mengiris langit biru. Dunia pun menahan napas.
Sementara di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto melakukan ‘perubahan nama’. Tak seperti Pentagon, melainkan kabinet. Bukan rudal, melainkan kursi menteri. Ada yang digeser, ada yang diganti. Kalau Trump mengubah nomenklatur demi perang geopolitik, Prabowo melakukan reshuffle demi perang domestik; melawan kelesuan ekonomi, menjawab kebosanan rakyat, sekaligus menjaga koalisi tetap solid di tengah isu ‘Indonesia gelap’.
Dunia tentu saja tahu, Indonesia belum lama bergolak. Meski pada akhirnya, demonstrasi berakhir biasa. Tidak ada klimaks. Tidak ada letupan besar. Tidak ada peristiwa heroik. The emptiness machine. Peristiwa memilukan yang hanya menyisakan asap, ban terbakar, serta wajah lelah para mahasiswa.
Sementara publik menganggapnya biasa. Media menuliskannya dingin. Penguasa tidak terguncang. Padahal, sebelum itu, semua menunggu sesuatu yang besar. Seruan turun ke jalan viral. Ancaman chaos digembar-gemborkan. Tapi ternyata, antiklimaks. Tidak seperti 1998.
Pada era Jokowi, politik relatif lebih stabil, tenang, dan terkendali. Bila ada yang melawan, dikriminalisasi. Kalangan yang tunduk, diberi jabatan. Pihak yang ribut, diberi konsesi. Semua dapat jatah. Semua elite merasa aman. Oligarki pun rapat. Hasilnya, tanpa musuh, tanpa oposisi sejati, serta tanpa ideologi yang beradu.
Semasa itu, meskipun demokrasi terkikis, akuntabilitas kabur, dan rakyat hanya jadi penonton; tapi tidak banyak yang marah. Karena Sang Presiden tidak flexing. Ia tampil bersahaja. Orkestra oligarki pun berjalan mulus dan Jokowi sukses menjadi dirigen ulung.
Kini giliran Prabowo. Musik berubah. Ia mewarisi panggung penuh pemain. Semua berhasrat tampil. Semua berkeinginan didengar. Tapi Prabowo bukan Jokowi. Ia tidak seteliti dan seirama pendahulunya. Akibatnya, harmoni retak bahkan simfoni berubah bising. Polarisasi elite kembali muncul. Bukan karena ideologi, tapi soal kursi dan tambang.
Tampak di permukaan, adem ayem. Sebuah koalisi besar tak tertandingi, koheren dengan pidato kebangsaan yang menyala-nyala serta janji indah tentang kesinambungan. Namun di bawah, arus mulai deras, fondasi mulai tergerus, dan kekuatan saling sikut mulai tampak nyata.
Ferry Effect
Tiba-tiba muncul Ferry Irwandi. Ia seorang kreator konten. Ferry membuat pernyataan mengejutkan. Katanya, kerusuhan bukan ulah rakyat, mahasiswa, buruh, apalagi asing. Menurutnya, sang dalang justru dari dalam lingkaran kuasa itu sendiri. “Tamak. Sakit hati. Ingin lebih berkuasa,” ujarnya yakin. Kalimat ini langsung viral.
Ia bahkan menyebut nama akun-akun di Twitter, seperti Heraloebss, Tekarok 007, Mas Veel, dan Ndrews Tjan. “Telusuri jejak digital mereka. Lihat siapa yang mereka dukung. Siapa yang mereka serang. Bagaimana fitnah dijalankan,” saran Ferry terkesan seperti desakan.
Jika Ferry benar maka kerusuhan hanyalah panggung. Massa hanyalah figuran. Sutradara ada di belakang layar. Sementara di jalanan, nyawa hilang, gedung terbakar, toko dijarah, dan aktivis ditangkap. Semua nyata. Semua berdarah.
Tapi ujungnya hanya catatan kecil. Sebuah efek samping dari sebuah drama perebutan kuasa. Drama yang menjadikan nyawa sebatas angka, api semata gambar di media, dan luka sekadar statistik. Hasilnya, panggung tetap berdiri dan pemain utama terus bernegosiasi.
Inilah wajah politik hari ini. Di jalanan, antiklimaks; di media sosial, gaduh. Hal yang menentukan bukan lagi jumlah massa, tetapi trending topic. Buzzer lebih kuat dari orator. Satu utas Twitter lebih tajam dari ribuan selebaran. Massa bisa bubar, sedangkan jejak digital abadi. Itu sebabnya, Ferry berkata, “Telusuri Twitter.” Karena di sanalah panggung sebenarnya.
Kalau benar dalang kerusuhan dari lingkaran kuasa maka ini bukan sekadar kerusuhan, tapi pertarungan antar-oligarki. Artinya, marabahaya tengah melanda. Konflik elite bisa meluber ke rakyat. Instrumen negara bisa dipakai saling serang. Instabilitas bisa muncul kapan saja.
Sejarah mengajarkan, presiden yang gagal mengendalikan oligarki ditelan oleh oligarki itu sendiri. Habibie, Gus Dur, Mega mengalaminya. Pertanyaannya, apakah Prabowo cukup kuat atau hanyut?
Terpampang dua jalan bagi Prabowo. Pertama, meniru Jokowi. Ikatlah oligarki dengan konsesi, lakukan kriminalisasi selektif, disiplin politik ketat, merawat stabilitas, tapi rente makin langgeng. Kedua, jalur radikal. Eliminasi total dan redesain lansekap kekuasaan, meski berisiko besar dan Fondasi bisa terguncang.
Presiden Prabowo harus memilih. Ia kukuh menjadi dirigen yang menenangkan atau penonton yang pasrah. Tapi, kalau melihat cara berpidatonya yang selalu berapi-api, ia sering kali berkata akan melawan mafia, maling, dan koruptor. “Saya tidak akan mundur sedetik pun dan saya akan lawan,” begitu ucapnya.
Demonstrasi 2025 memang antiklimaks. Massa kecewa, publik bosan, dan elite kini bisa tidur tenang. Tapi jangan salah. Antiklimaks di jalan bisa menjadi prolog di belakang layar. Apalagi ketika darah sudah tumpah, gedung hangus, rakyat jadi korban, dan aktivis mendekam di sel. Semua itu terlalu mahal untuk sekadar menjadi tontonan drama di akhir pekan.
Kemarin, Presiden menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan. Sorotan langsung berdatangan. Apalagi ia menggantikan Sri Mulyani, Si Menkue legend. Ia menjabat sedari era SBY, Jokowi, sampai awal Prabowo. Kursi itu hampir menjadi milik tetapnya. Kredibilitasnya sudah seperti brand internasional. Kalau Sri Mulyani mengatakan ‘utang terkendali’, pasar langsung percaya. Jika bia mengatakan ‘defisit aman’, investor tanpa ragu bertepuk tangan. Bagaimana dengan Purbaya?
Namun, apa pun itu, semua bermuatan pesan politik. Fenomena kebijakan tiga negara besar di level percaturan politik yang berbeda tersebut tengah mengirim sebentuk pesan politik. Tiongkok memamerkan parade militer, lalu Amerika merespons dengan satu kata tegas ‘war’ untuk Pentagon, sedangkan Indonesia menata ulang kabinetnya. Satu berbicara misil, satu mengumandangkan istilah, dan satu lagi, menata kursi. Semua itu untuk menunjukkan kepada rakyat dan dunia bahwa mereka masih layak memimpin.
Editor: Arif Giyanto