

Pizza Index, Ketika Perang Diukur dari Petunjuk Lapar
/ Opini
Dalam dunia yang serba-terhubung, Perang Israel-Iran tak dapat dipisahkan dari dapur setiap keluarga.
Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Jogja Daily
Pada zaman ketika berita bisa direkayasa, opini dipoles buzzer, dan perang diumumkan lewat konferensi pers yang penuh retorika, ada satu indikator yang jauh lebih jujur, lebih sederhana, dan justru bisa kita lacak dari Google Maps. Namanya, Pizza Index.
Aneh? Mungkin. Tapi, siapa sangka, pizza bisa menjadi sinyal awal dari krisis global. Di dunia intelijen modern yang penuh sensor satelit dan perangkat lunak canggih, terkadang hal paling manusiawi justru menjadi petunjuk paling sahih; lapar.
Kini, kisah itu kembali mencuat. Satu jam sebelum Israel melancarkan serangan besar ke wilayah Iran, restoran-restoran pizza di sekitar Pentagon, Washington DC, tiba-tiba diserbu pesanan. Dalam waktu singkat, jumlah order meningkat drastis. Beberapa toko lokal melaporkan lonjakan hingga dua kali lipat dari biasanya. Pemandangan para kurir pizza yang sibuk mondar-mandir di tengah malam menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi di pusat komando militer dunia itu.
Benar saja. Tak lama kemudian, dunia bangun dalam suasana tegang. Rudal diluncurkan, pernyataan-pernyataan resmi membanjiri media, dan eskalasi Iran-Israel kembali mencuat ke permukaan. Tapi para pemantau Open Source Intelligence (OSINT) sudah membaca tanda-tanda itu terlebih dulu. Bukan dari sumber rahasia. Tapi dari data pengantaran pizza.
Dari sinilah istilah ‘Pizza Index’ kembali populer. Sebuah teori semi-serius yang berbunyi, “Jika restoran pizza di sekitar Pentagon mendadak ramai pada larut malam, kemungkinan besar dunia sedang tidak baik-baik saja.”
Lucunya, bukan kali pertama terjadi. Sejak era Perang Teluk, pola ini berulang. Setiap kali Amerika hendak melancarkan operasi militer besar, dari Irak hingga Suriah, restoran pizza di sekitar Pentagon hampir pasti mencatat lonjakan pesanan. Saat Operasi Desert Storm dimulai pada 1991, ratusan kotak pizza dikirim ke Pentagon setelah pukul 10 malam. Data pengiriman makanan itu kini dianggap sebagai ‘indikator lembur strategis’. Bahkan beberapa pengamat menyebutnya sebagai bentuk intelijen sosial nonformal; pizzint atau pizza intelligence.
Mengapa pizza? Jawabannya sederhana. Pizza adalah makanan paling netral dan efisien dalam situasi krisis. Bisa dimakan sambil berdiri. Bisa dibagi ke banyak orang. Tidak terlalu ribet. Tidak terlalu bau. Tetap enak meski dimakan dingin. Bayangkan suasana ruang perang; layar-layar menyala, briefing berlangsung cepat, satelit sedang mengunci target, lalu seseorang masuk dan berkata, “Pizzanya sudah sampai, Pak.” Dunia pun terasa sedikit lebih manusiawi.
Pihak Pentagon tentu saja membantah. Mereka mengklaim punya katering internal yang lengkap, mulai dari sandwich, kopi, hingga sushi. Tapi siapa yang menginginkan sushi saat rapat soal rudal? Pizza tetap menjadi pilihan yang paling logis. Tak peduli seberapa modern teknologi mereka, jika lapar menyerang, yang dibutuhkan hanyalah keju hangat dan crust renyah.
Media internasional pun ikut menyoroti. The Times menulis bahwa pola pesanan pizza ini bisa memprediksi eskalasi sebelum media massa sempat memberitakan apa pun. New York Post melaporkan grafik lonjakan pengantaran makanan malam itu, dan Times of India mengutip juru bicara Pentagon yang—dengan sedikit gugup—menyangkal bahwa pizza punya peran dalam pengambilan keputusan.
Tapi barangkali, di balik semua itu, kita belajar sesuatu; bahwa dunia bergerak bukan hanya oleh strategi politik dan kekuatan militer, tapi juga oleh hal-hal yang sangat manusiawi, seperti lapar.
Apa Hubungannya dengan Indonesia?
Di permukaan, tentu saja ini terasa jauh. Jarak ribuan kilometer memisahkan kita dari Timur Tengah atau Pentagon. Tapi dalam dunia yang terhubung dengan ekonomi global dan sistem informasi real-time, jarak itu hanya ilusi.
Ketika Pentagon mulai memesan pizza karena rapat krisis dimulai, itu bisa berarti harga BBM di Indonesia akan naik dalam hitungan hari. Ketika Israel menyerang Iran, harga minyak dunia melonjak, dan kita—negara yang masih banyak mengimpor energi—ikut terkena dampaknya. SPBU akan mengoreksi harga. Harga bahan pokok akan ikut terdorong. Dan rakyat kecil lagi-lagi diminta untuk ‘bersabar dan berdoa’.
Ketika keputusan perang diambil di ruang rapat Pentagon, nilai tukar rupiah bisa melemah. Pasar keuangan global menjadi cemas. Investor global menarik dana dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Saham-saham anjlok. Seperti biasa, pihak yang paling rentan adalah mereka yang hidup dari gaji harian, bukan portofolio investasi.
Lebih jauh lagi, konflik Timur Tengah bisa berdampak pada jutaan tenaga kerja Indonesia di kawasan itu. Jika konflik memburuk, mereka bisa kehilangan pekerjaan, bahkan harus dipulangkan dalam situasi darurat. Efeknya dirasakan di kampung-kampung, bukan di ruang parlemen.
Hal yang paling berbahaya; ketika konflik di luar negeri dijadikan amunisi politik domestik. Informasi bohong, radikalisasi digital, hingga narasi identitas yang dipelintir bisa membelah masyarakat kita dari dalam. Indonesia punya sejarah panjang soal ini, dan kita tahu betul, tidak semua konflik membutuhkan peluru. Terkadang cukup dengan berita hoaks dan emosi kolektif.
Itulah mengapa, Pizza Index, sesederhana dan sekonyol kedengarannya, justru penting untuk diperhatikan. Ia bukan sekadar cerita lucu tentang jenderal lapar, tapi sinyal dini bahwa dunia sedang bergolak, dan kita bisa ikut terseret meski tidak merasa sedang berperang.
Jadi mulai sekarang, ketika restoran pizza di sekitar Pentagon mendadak ramai di malam hari, jangan anggap itu hanya soal topping dan saus tomat. Bisa jadi itu pertanda ada drone yang siap tinggal landas, ada mata uang yang akan bergejolak, dan ada kehidupan rakyat biasa yang akan ikut bergetar.
Editor: Astama Izqi Winata