

Daulat Arsitektur Daulat Rakyat
/ Opini
Konstitusi Indonesia menjamin hak setiap warga negara atas tempat tinggal yang layak.
Suparwoko
Guru Besar Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia
Arsitektur setua peradaban manusia. Di sana ada manusia, di sana ada tempat tinggal. Rupanya bisa beragam, disesuaikan filosofi dan keberfungsian yang diinginkan. Ketika sebuah tempat tinggal dikreasi, di sanalah arsitektur lahir. Ia bisa jadi tampak mewah oleh sebagian kalangan, tapi tak berarti apa-apa bagi kalangan lain. Tapi intinya, tempat tinggal tetaplah tempat tinggal. Tempat untuk tinggal.
Dalam konsep bernegara, setiap warga berhak atas tempat tinggal yang layak. Sekali lagi, setiap warga. Bukan hanya sebagian, apalagi segelintir. Setiap warga, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog perumahan di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 9,9 juta unit. Backlog perumahan adalah selisih antara jumlah rumah yang dibutuhkan dengan jumlah rumah yang sudah tersedia, diukur berdasarkan jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri. Berdasarkan data BPS, artinya sejumlah 9,9 juta keluarga atau rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah.
Kabarnya, angka tersebut meningkat drastis tahun ini. Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, sempat memunculkan taksiran backlog perumahan sebanyak 15 juta unit. Bila benar, lonjakan angka yang tak sedikit. Pernyataan Wamen Fahri langsung dibantah oleh BPS, karena data tentang itu rencananya baru dirilis Juli 2025 melalui hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Dalam menyikapi kebutuhan ‘papan’ rakyat, pemerintah lantas menelurkan program pembangunan tiga juta rumah per tahun. Terasa ambisius, bukan? Program merakyat ini menjadi salah satu prioritas dari delapan program hasil terbaik cepat (PHTC) atau quick wins. Sasaran utamanya, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rencananya, dua juta rumah dibangun di daerah perdesaan, sedangkan satu juta di kawasan perkotaan. Bukan hanya penyediaan rumah murah, kriteria penting lain, yakni sanitasi baik.
Terlepas dari perwujudannya yang jelas tak mudah dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, penyediaan tiga juta rumah bukan semata pemanis citra politik untuk tujuan elektoral. Namun, negara tengah berusaha hadir untuk menyelesaikan kebutuhan mendasar semua warga negara, berupa hunian yang layak. Negara sedang berupaya mengerahkan segala sumber daya yang ada demi kesejahteraan rakyat. Negara menjalankan amanah Konstitusi.
Kehadiran negara dalam program tiga juga rumah rakyat seperti membenarkan ungkapan Proklamator tercinta, Mohammad Hatta. Bung Hatta pernah menegaskan, “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.” Sang arsitek perekonomian bangsa itu mewanti-wanti pentingnya fokus pada langkah nyata untuk mengisi kemerdekaan.
Arsitektur Kerakyatan
Dalam khazanah keilmuan arsitektur, langkah-langkah pemerintah untuk mewujudkan rumah rakyat merepresentasi terma ‘arsitektur kerakyatan’. Pada konteks Indonesia, visi arsitektur kerakyatan dapat dimaknai sebagai upaya mewujudkan arsitektur berkelanjutan, berbasis masyarakat, dan sesuai dengan kebutuhan lokal, untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Selanjutnya, arsitektur kerakyatan termaktub dalam beberapa misi berikut. Pertama, mengembangkan arsitektur yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengembangan arsitektur. Ketiga, mengintegrasikan kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat dalam pengembangan arsitektur. Keempat, meningkatkan aksesibilitas dan kualitas bangunan untuk semua orang.
Arsitektur kerakyatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia melalui pengembangan arsitektur yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Selain itu, mengembangkan arsitektur yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan budaya masyarakat setempat, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan arsitektur, serta meningkatkan kualitas dan profesionalitas arsitek di Indonesia.
Sementara sasaran arsitektur kerakyatan, di antaranya meningkatkan jumlah bangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan di Indonesia, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengembangan arsitektur, mengembangkan program pendidikan dan pelatihan arsitektur yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal, serta meningkatkan kualitas dan aksesibilitas bangunan untuk semua orang.
Beberapa strategi dapat ditempuh untuk mencapai visi, misi, tujuan, dan sasaran arsitektur kerakyatan. Pertama, pengembangan kebijakan. Maksudnya, mengembangkan kebijakan serta regulasi yang mendukung arsitektur kerakyatan dan berkelanjutan. Kedua, pendidikan dan pelatihan. Berarti menyediakan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan pengembangan arsitektur kerakyatan.
Ketiga, partisipasi masyarakat. Artinya, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengembangan arsitektur. Keempat, pengawasan dan evaluasi. Mari mengawasi dan mengevaluasi kualitas arsitektur kerakyatan yang dikembangkan di Indonesia.
Arsitektur kerakyatan senyatanya tidak dapat dilepaskan dari kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia. Dari masa ke masa, di setiap tingkat kehidupan berbangsa, upaya untuk mengentaskan problem kebutuhan rumah bagi rakyat banyak terus dilakukan. Arsitektur kerakyatan sebentuk ekspresi dari nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi kegotong-royongan.
Bila Pemerintah kini tampak begitu bersemangat untuk mewujudkan tiga juta rumah untuk rakyat, tentu saja layak diapresiasi dan didukung sepenuh hati. Jalan terjal yang menanti harus dilalui dengan berbagai ikhtiar. Batu sandungan yang ada semestinya menjadi sarana untuk bersatu. Karena keberhasilan program ini tak lain bentuk kemanunggalan negara dan rakyat Indonesia.
Arsitektur kerakyatan pada akhirnya adalah tentang kita. Ketika ada jurang yang begitu lebar antara jumlah populasi manusia dan jumlah rumah yang ada, saatnya kita bergandeng tangan. Kita berarti termasuk negara. Pemerintah yang peduli pada perwujudan rumah rakyat berarti bagian dari kita. Rumah bagi kelangsungan generasi, tempat menyemai harapan, pun menjemput masa depan bangsa yang lebih baik.
Editor: Arif Giyanto