

Kota Kerakyatan Berbasis Koperasi Merah Putih
/ Opini
Kota yang terpusat pada manusia dan kehidupan berkelanjutan membutuhkan komitmen dan dukungan luas dari berbagai kalangan.
Suparwoko
Guru Besar Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia
Persoalan perkotaan seperti tidak ada habisnya. Dari masa ke masa, persoalan tersebut datang silih berganti. Suatu waktu, sebuah persoalan dapat terselesaikan. Namun, dalam kurun waktu tertentu, persoalan itu dapat saja kembali muncul, karena bermacam hal. Isu-isu populer perkotaan, mulai dari pengelolaan sampah, regulasi kependudukan, hingga penataan permukiman, direspons beragam oleh para pemangku kepentingan.
Kini, kota-kota di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam hal pengembangan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kenyataan pada banyak perkotaan di negeri ini menampakkan pertumbuhan ekonomi yang cepat, akan tetapi tidak selalu disusul peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan di wilayah perkotaan meningkat. Apabila dibandingkan dengan September 2024, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 di perkotaan mengalami peningkatan sebanyak 220 ribu orang. Semula berjumlah 11,05 juta orang pada September 2024 kemudian bertambah menjadi 11,27 juta orang pada Maret 2025.
Data BPS itu didapatkan dari survei terhadap 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia pada Februari 2025. Rumah tangga dengan jumlah pengeluaran Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.000 per hari, digolongkan sebagai penduduk miskin. Jumlah penganggur yang terus bertambah dan harga pangan yang meroket, lantas berimplikasi pada melemahnya daya beli, menjadi penyebab peningkatan jumlah penduduk miskin di kota.
Persoalan kemiskinan di perkotaan dapat dinilai dari wajah huniannya. Penduduk miskin di perkotaan umumnya hidup dengan hunian yang jauh dari kata layak. Mereka tinggal di permukiman kumuh yang tidak jarang buruk sanitasinya, pun layanan dasar lain. Dapat ditengarai selanjutnya, penduduk miskin di perkotaan sering kali harus hidup dengan standar kesehatan dan kualitas hidup yang memprihatinkan.
Betapa perlu hadirnya pendekatan baru dalam pengembangan ekonomi kota yang lebih berfokus pada kepentingan rakyat. Sebuah pendekatan yang dapat mengentaskan rupaneka problem kemiskinan kota, termasuk semakin maraknya hunian kumuh. Pendekatan menyeluruh yang benar-benar menyentuh kalangan rentan, serta tidak melulu indah di atas kertas, apalagi sekadar pemanis orasi para pejabat publik.
Kota untuk Rakyat
Dalam bukunya yang fenomenal berjudul Cities for People, seorang arsitek kenamaan Denmark, Jan Gehl, mengusung gagasan desain perkotaan dan pendekatan perencanaan kota yang berpusat pada manusia. Buku terbitan Island Press Washington tahun 2010 ini menekankan pentingnya manusia dibanding lainnya, demi komunitas yang dinamis serta kota yang layak huni dan berkelanjutan.
Gehl berpandangan, ruang perkotaan haruslah dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan perilaku manusia, sehingga memungkinkan perkembangan komunitas melalui komunikasi, pergerakan, dan rasa kebersamaan. Ia menyasar pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi umum untuk menciptakan lingkungan yang nyaman ditinggali, tumpuan bekerja, serta ruang sosialisasi yang mudah.
Kota, terang Gehl, dapat dirancang berkontribusi pada perkembangan manusia, bukan hanya kelangsungan hidupnya. Strategi yang ia usulkan mencakup desain lingkungan holistik yang menggabungkan aspek keselamatan, keberlanjutan, dan interaksi sosial. Gehl benar-benar bercita-cita membangun kota-kota peningkat kualitas hidup.
Lebih dalam, karya Gehl lekat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika desain perkotaan bertumpu pada manusia, tentu saja didahului dengan penyelesaian persoalan manusia-manusianya. Artinya, persoalan kemiskinan, minimnya akses pendidikan, dan kebersatuan nasib sebagai sesama penghuni kota telah ada solusinya.
Implementasi nilai-nilai kemanusiaan pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan dan keadilan bersama warga perkotaan. Kota bermartabat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, empati, dan solidaritas. Kota yang terbentuk dari relasi dan koneksi antar-manusia dengan segala macam profesi, kebutuhan hidup, dan cita-cita.
Kota yang berkemanusiaan menjadi tempat indah bagi berseminya kenangan seseorang. Kenangan baik yang dapat menjadi energi besar baginya dalam mengarungi kehidupan, entah di kota itu atau kota lain. Dapat disimpulkan bahwa kota untuk rakyat, yakni kota yang mengedepankan penghargaan sepenuhnya bagi eksistensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Koperasi sebagai Pilar Utama Kota Kerakyatan
Pada Bulan Juli 2025 yang lalu, Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan 80.081 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP). Peluncuran digelar di Desa Bentangan, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah. Termasuk program unggulan, Koperasi Merah Putih diorientasikan untuk pengembangan ekonomi nasional.
Kota Kerakyatan berbasis Koperasi Merah Putih adalah konsep yang menempatkan koperasi sebagai pilar utama dalam pengembangan ekonomi kota. Koperasi Merah Putih adalah koperasi yang dimiliki dan dijalankan oleh rakyat, untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian, Koperasi Merah Putih dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi kesenjangan ekonomi.
Praktiknya nanti, Koperasi Merah Putih dapat diselaraskan dengan konsep Kota Kerakyatan. Apa saja kelebihannya bila Kota Kerakyatan dibangun dengan basis Koperasi Merah Putih?
Pertama, Koperasi Merah Putih dapat meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengembangan ekonomi kota. Dengan menjadi anggota koperasi, rakyat dapat memiliki kontrol yang lebih besar atas keputusan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Kedua, Koperasi Merah Putih dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan menjalankan usaha berbasis pada kepentingan rakyat, Koperasi Merah Putih dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
Ketiga, Koperasi Merah Putih dapat meningkatkan keadilan ekonomi. Dengan menempatkan rakyat sebagai pusat pengembangan ekonomi, Koperasi Merah Putih dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan keadilan sosial.
Di masa lalu, beberapa catatan perkoperasian Indonesia pernah menunjukkan keberhasilan peningkatan kesejahteraan rakyat melaului Koperasi Unit Desa (KUD) yang telah berkembang di banyak daerah. Sayangnya, faktor kepercayaan anggota yang terus menurun kepada para pengurus meredupkan eksistensi KUD sebagai garda terdepan ekonomi kerakyatan.
Konsep Kota Kerakyatan dan Koperasi Merah Putih memiliki keterkaitan erat. Kota Kerakyatan yang diwujudkan berbasis Koperasi Merah Putih akan bermuara pada capaian nilai-nilai kemanusiaan di perkotaan, karena sama-sama berpusat pada manusia dan keberlanjutannya.
Meski demikian, sejumlah tantangan sudah menunggu. Pertama, keberadaan Koperasi Merah Putih yang belum lama membutuhkan dukungan kebijakan dan regulasi. Kedua, diperlukan peningkatan kapasitas dan kemampuan Koperasi Merah Putih untuk bersaing di pasar global. Ketiga, pentingnya kesadaran dan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam pengembangan Koperasi Merah Putih.
Simpulannya, konsep Kota Kerakyatan berbasis Koperasi Merah Putih dapat menjadi salah satu solusi masalah pengembangan ekonomi kota di Indonesia. Dengan menempatkan Koperasi Merah Putih sebagai pilar utama dalam pengembangan ekonomi kota, kita dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan meningkatkan keadilan sosial.
Tak lupa, pentingnya dukungan dan komitmen semua stakeholder perkotaan untuk mengembangkan Kota Kerakyatan berbasis Koperasi Merah Putih di Indonesia.
Editor: Rahma Frida