Masjid Kagungan Dalem Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman, merepresentasi prinsip-prinsip arsitektur Islam Nusantara. (Arif Giyanto)
Warisan Budaya Milik Kita Bernama Arsitektur Islam Nusantara : Masjid Kagungan Dalem Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman, merepresentasi prinsip-prinsip arsitektur Islam Nusantara. (Arif Giyanto)
Masjid Kagungan Dalem Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman, merepresentasi prinsip-prinsip arsitektur Islam Nusantara. (Arif Giyanto)

Warisan Budaya Milik Kita Bernama Arsitektur Islam Nusantara

Arsitektur Islam Nusantara telah saatnya dilestarikan dan dipromosikan, sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.


Suparwoko
Guru Besar Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia

 

Apabila berkunjung ke Desa Wisata Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Anda tidak mungkin melewatkan cagar budaya monumental, Masjid Saka Tunggal Baitussalam Pekuncen. Berbeda dengan bangunan masjid lain, saka guru atau tiang utama penyangga bangunan masjid yang dibangun pada tahun 1288 ini hanya satu. Itu sebabnya populer disebut sebagai Masjid Saka Tunggal atau masjid bertiang satu.

Dalam tulisan berjudul View of Local Wisdom In Oral Tradition: Parental Belief In Educating Early Childhood In The Family, Musyafa Ali dan Sumarni, menjelaskan tiang-tiang masjid berdimensi 12 x 18 meter tersebut berhias ukiran bunga. Terpampang kaligrafi yang indah pada saka tunggal atau pilar tengah, langit-langit, dinding samping bangunan, gantil emprit, mihrab, dan mimbar.

Atap masjid terbuat dari ijuk dan memiliki bentuk tunggangan dengan hiasan mustaka di bagian puncaknya. Puncak atap masjid berbentuk piramida berikut ujung yang bulat, dihiasi sembir-sembir mirip putik dan daun bunga.

Ditilik dari tahun pembangunannya, Masjid Saka Tunggal telah ada sebelum kelahiran Majapahit (1293). Menurut Ali dan Sumarni, motif flora dan fauna yang dipakai adalah motif asli, sebelum agama Hindu, Buddha, dan Islam dikenal oleh masyarakat Tanah Jawa.

Apabila ditilik struktur bangunannya, tulis Ali dan Sumarni, terdapat pengaruh akulturasi antara Hindu dan Islam. Bentuk bangunan masjid mirip pura, tempat ibadah umat Hindu. Di setiap ujung atapnya  terdapat hiasan melengkung yang disebut bungkak, sebuah motif kuno asal Tanah Jawa bagian tengah-selatan.

Merujuk pada buku berjudul Dakwah Wali Sanga: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa karya Purwadi dan Enis Niken H. terbitan Panji Pustaka Yogyakarta tahun 2007, salah satu pendapat yang banyak diyakini para sejarawan, Islam masuk ke Tanah Jawa pada abad ke-11, berdasar pada penemuan batu nisan Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 1082.

Artinya, ketika Masjid Saka Tunggal dibangun, beberapa tahun sebelum berdirinya Majapahit, masyarakat Tanah Jawa telah telah familier dengan tiga agama, yakni Hindu, Buddha, dan Islam. Wajar adanya bila arsitekturnya pun dipengaruhi oleh akulturasi berbagai unsur, termasuk agama dan nilai-nilai filosofi Jawa.

Tak hanya Masjid Saka Tunggal, Anda dapat menjumpai masjid-masjid berusia ratusan tahun dengan arsitektur yang dipengaruhi oleh akulturasi berbagai agama di Tanah Air. Misalnya, Masjid Agung Demak (1474), Masjid Menara Kudus (1549), Masjid Agung Banten (1552), Masjid Gedhe Mataram (1578), dan masih banyak lagi.

Masjid-masjid ini menjadi bukti autentik penyebaran Islam di Tanah Jawa khususnya, dan Nusantara pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa arsitektur masjid dirancang berdasarkan nilai-nilai keislaman tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan masyarakat Nusantara. Arsitektur demikian dapat disebut sebagai ‘arsitektur Islam Nusantara’.

Dapat dipahami bahwa arsitektur Islam Nusantara adalah karya seni bangunan hasil perpaduan antara aspek fisik dan aspek metafisika yang berdasar pada konsep pemikiran Islam dan budaya lokal dengan prinsip-prinsip dasar, di antaranya ketauhidan, keseimbangan, keindahan, kemanfaatan, serta kelestarian.

Arsitektur Islam Nusantara tak hanya berwujud masjid. Ia dapat berbentuk arsitektur istana, kerajaan, keraton, atau benteng. Selain itu, rumah adat, makam, madrasah, asrama, dan bangunan sosial lain yang memadukan elemen lokal dengan nilai-nilai Islami.

Istana Siak Sri Indrapura di Riau, misalnya. Dibangun pada abad ke-19 dengan gaya arsitektur Melayu, istana tersebut beratap limas bertingkat empat perlambang empat pilar negara serta ukiran kayu bermotif flora dan fauna.

Contoh lainnya, yakni Kerajaan Samudera Pasai. Peninggalan arsitektur Islam tampak pada bangunan yang menyerupai rumah adat dengan teras lebar dan balai luas. Prinsip-prinsip bangunannya mirip rumah adat Betawi yang berteras lebar dan balai luas dan biasa dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul atau berkegiatan sosial.

Betapa penting melestarikan dan mempromosikan arsitektur Islam Nusantara, di antaranya dengan terus mengkaji masjid-masjid peninggalan para pendahulu yang telah berusia ratusan tahun itu. Masjid-masjid yang tetap tegak berdiri, menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

Sementara arsitektur Islam Nusantara dengan fungsi bangunan non-masjid yang didasarkan pada konsep pemikiran Islam dan budaya lokal menjadi tantangan selanjutnya.

Karakteristik dan Keunikan

Apabila digali lebih dalam, masjid-masjid di Indonesia yang telah berusia ratusan tahun, memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Hal tersebut dijabarkan sejarawan Uka Tjandrasasmita, dalam buku karyanya berjudul Arkeologi Islam Nusantara.

Menurutnya, kebanyakan masjid tua di Indonesia menunjukkan karakteristik khas, dibanding dengan negara-negara Muslim lain, khususnya Saudi Arabia, Timur Tengah, dan India, yang umumnya berkubah. Elemen arsitektur yang paling penting ditunjukkan oleh atap bertingkat dengan dua, tiga, empat, atau lebih tingkat, menuju atas.

Uka berpandangan, masjid-masjid lawas itu terkadang dihiasi oleh dekorasi-dekorasi yang diambil dari motif tradisional. Motif yang telah digunakan sebelum kedatangan dan penyebaran agama Islam. Seni dekoratif dapat ditemukan pula dalam bentuk kaligrafi yang sering ditemukan pada batu nisan dan dalam beberapa papan kayu atau logam.

Arsitektur dan dekorasi masjid-masjid berusia ratusan tahun dapat ditelusuri ke masa lalu, hingga sampai pada elemen-elemen yang dimiliki arsitektur agama lain. Misalnya, pura Hindu yang melambangkan meru atau gunung suci dalam Hinduisme. Arsitektur dan dekorasi ini masih dapat diakui berasal dari relief-relief sejumlah pura di Jawa Timur dan Bali.

Perawatan tradisi arsitektur agama beserta dekorasinya, sambung Uka, memiliki makna yang dalam untuk menarik non-Muslim agar memeluk Islam sebagai keyakinan mereka. Apabila memasuki masjid, mereka tidak mengalami ketegangan budaya (cultural shock). Seni arsitektur dan dekorasi dapat dianggap sebagai salah satu saluran dalam proses membentuk artefak yang bersifat Islami.

Musyafa Ali dan Sumarni menulis, salah satu fitur menarik dari masjid-masjid kuno di Indonesia, yakni kehadiran empat sayap kayu di tengah saka yang melekat pada saka. Sayap-sayap tersebut melambangkan kiblat papat lima pancer atau empat mata angin dan satu pusat.

Konsep kiblat papat lima pancer mengandung makna bahwa manusia adalah pusat (pancer) yang dikelilingi oleh empat mata angin perlambang unsur api, angin, air, dan bumi. Saka tunggal melambangkan pemahaman bahwa manusia harus menjaga integritasnya, dengan lurus seperti huruf Alif dan tidak melakukan tindakan yang bengkok, nakal, atau berbohong.

Keempat mata angin tersebut menggambarkan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan manusia. Manusia tidak boleh berlebihan dalam mengejar keinginan-keinginan duniawi, seperti berlebihan dalam kekayaan, kekuasaan, atau hiburan

Selain itu, terang Ali dan Sumarni, manusia juga harus mengendalikan empat dorongan dalam dirinya yang disebut sebagai aluamah (keinginan berlebihan), mutmainah (tuntutan dari kepuasan jiwa), sopiah (kebutuhan akan kebersihan), dan amarah (emosi yang tidak terkendali), karena keempat dorongan ini bisa mempengaruhi karakter individu.

Milik Semua

Arsitektur Islam Nusantara senyatanya milik semua umat Islam di Indonesia; bukan hanya orang-orang  Jawa, Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU), atau warga Persyarikatan Muhammadiyah. Sungguh penting melestarikan dan mempromosikan arsitektur Islam Nusantara sebagai warisan budaya yang kaya dan beragam. Arsitektur Islam Nusantara tak lain sebentuk kekayaan budaya Indonesia. Warisan budaya yang sekian lama telah bersumbangsih pada jati diri kebangsaan dan kenegaraan.

Masjid-masjid berusia ratusan tahun yang bertebaran di seantero Republik ini merepresentasi perjalanan sejarah monumental. Masjid bukan hanya tempat ibadah umat Islam, tapi ikon penggerak dan pemersatu peradaban. Dari sanalah ide-ide kreatif perubahan digelar untuk menjemput hari-hari yang jauh lebih baik. Di masjid, spirit nasionalisme terus dipupuk dan dilestarikan.

Religiusitas pada praktiknya dapat berpadu padan dengan gerakan sosial, ekonomi, dan seni arsitektur di masjid-masjid kuno Nusantara. Akulturasi yang merefleksikan kekayaan budaya Indonesia tampak pada bangunan masjid-masjid tersebut. Keanekaragaman budaya yang dapat disimpulisasi dengan identitas nasional.

Masjid-masjid kuno di Indonesia turut mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan, dan praktik budaya Nusantara. Melalui masjid, identitas budaya nasional terartikulasikan serta berkontribusi pada pembentukan identitas kolektif kebangsaan.

Mari tak lelah merawat dan mempromosikan arsitektur Islam Nusantara. Dengan begitu, identitas dan jati diri nasional dapat lestari. Seirama dengan slogan ‘cinta Tanah Air sebagian dari iman’ atau hubbul wathan minal iman cetusan Kiai Hasyim Asy'ari . Karena, di Tanah Air-lah seseorang hidup, beribadah, dan menjalankan ajaran agamanya.

Editor: Rahma Frida


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik